Desir hidupku adalah
do’a-do’a samar dengan suara dengau waktu. Mengalir sarat cahaya mata yang
memutar alur perjalanan di sekat-sekat kesunyian. Aku coba bertanya pada Dia
yang membuat kehidupan dan kematian. Tapi itu hanya nyanyian tergubah nafsu. Dan
setelahnya aku tetap memburu ketiadaan.
Aku, masih setia menatap mata. Ia selalu melanglang sukma
di waktu-waktuku yang patah. Dalam dimensi kesunyian terdengar bisik-bisiknya
mencumbu pendengaranku,
“Bagaimana mungkin kau melihatku, seharusnya akulah yang
melihatmu karena itulah tugasku. Ku mohon berhentilah menatapku, karena aku
adalah mata yang akan terus melihatmu sampai menjadi kaku.”
Sejenak ku larikan nafasku dalam suasana yang
tersembunyi. Menahan jeri dan mimpi. Setelahnya menelan kegetiran di dekat
kematian diri.
0 komentar:
Posting Komentar