Setelah mengikuti acara IEC UB,
Saya dan bang Gorong masih ingin mengenal Malang dari sudut yang lain, jadi
kami putuskan untuk menambah 4 hari di kota ini. Ingat bukan makin banyak kita
bersilaturahmi, maka makin banyak pula rezeki. Alhamdulillah bang Gorong punya
seorang sahabat yang kuliah di Universitas Muhammadiah Malang namanya Afan dan
kami juga punya seorang teman yang dulu pernah satu event di Unsri namanya bang Aries dia lagi PKL di kota Apel. Berkat
bang Aris kami menginap di Gues House,
kami hanya pesan sekamar, eittss jangan berpikir kami sekamar yee! Bg Gorong menginap di kamar adik
sekampungnya bang Aris yang berasal dari Bengkulu yang juga ngekost di gues house itu.
Malamnya kami
ke Batu untuk menikmati dinginnya kota yang khas ini. Di taman Batu itu sangat
unik, banyak sparkling yang indah dan
berbagai bentuk, dari sapi, jeruk dan tak ketinggalan buah apelnya. Satpam
masih terjaga untuk menjaga taman walau hari sudah larut.
Kami juga
berencana mendaki Semeru! Gunung tertinggi di tanah Jawa, sungguh aku tak
percaya, pernah ku buat status di FB ketika bus dari surabaya menuju Malang dan
kami melihat Semeru, lalu kutulis “Semeru, suatu hari nanti kita pasti
bertemu!” tak kubayangkan ternyata itu
terkabul beberapa hari kemudian, SubhanAllah :) .
Jangan takut mendaki bila tak ada persiapan alat-alat. Di kota ini
menyediakan penyewaan peralatan camping
yang lengakap sekali. Dan kami juga harus ke rumah sakit untuk
meminta surat
keterangan dokter sebagai syarat untuk mendaki nanti.
Selasa, 26
November 2013 kami berangkat dari Kota Malang ke Semeru dengan menggunakan
sepeda motor. Kami berlima (bg Gorong, bg Aries, Saya, Afid ; teman Afan anak
umu malang, dan Afan )mulai berangkat pukul 16.00 dari UMU Malang, perjalanan
dari cerah hingga hujan hadir tanpa kami inginkan. Dua jam perjalanan sudah
memasuki jalan berkelok dan perkampungan suku jawa yang khas, ntah mengapa aku suka sekali tempat itu,
lupa pula nama kampungnya.
Hari kian gelap kami benar-benar diburu
waktu jalan kian menanjak dan beberapa
rusak, sesekali motor susah untuk dikendalikan. Kami hanya percaya pada lampu
motor yang samar-samar menerangi jalan pun kian menakutkan, dan hujan
benar-benar tak kami butuhkan sebab dingin kini sudah menjadi pengganggu utama.
Gigil
benar-benar di rasa kabut pun mulai menyelimuti kami, akhirnya kami menyerah
sejenak sekaligus mengisi perut yang ribut bukan kepalang, kami singgah di
salah satu warung di kampung. Kulihat wajah satu persatu antara kami, pucat
bukan main, bibir biru, tangan berkerut lusuh ahhh benarlah aku tak tau lagi
rasanya. Teh panas dan nasi pecal ku lahap dengan cepat agar gigil kurasa
berkurang, Bapak dan Ibu warung amat baik, dilihatnya kami menggigil disuguhkan
penghangat dari bara arang di tungku tanah liat, waa langsung saja ku bilang “
kulonuwon” sama si bapak yang baik hati itu, girang ku ternyata lebih girang
lagi si Afan dan si Afid serta si Bapak yang baik hati, aku terheran mereka
tertawa terbahak2. Dan ternyata aku salah ucap, “kulonuwon” yang kumaksud
adalah bahasa jawa yg merupakan rasa ucap terimakasihku pada si Bapak yang baik
hati ternyata salah besar, yang benar adalah “kesuwon”, alahai merah padam pipiku bukan sudah panas
kurasa cuaca, tapi akibat menahan malu.
Akhirnya
setelah kenyang dan kami siap untuk memulai perjalanan, si Bapak yang baik hati
itu memberi nasihat dalam bahasa jawa yang tidak kumengerti artinya pada si Afan.
Ahh aku amat malu suku jawa tapi tak bisa bahasa jawa. Ternyata benarlah Bapak
ini baik hati sekali, dilihatnya jaket si Afid basah kuyup, beliau meminjamkan
jaket yang dipakainya untuk si Afid, terharu sejenak kala itu. Jalan kian
mencekam, gelap, berkabut, hujan, dan dingin menjadi sahabat kami di
perjalanan. Afan yang menggunakan matic tiba-tiba motornya terhenti, mogok!
Amboii~
Takut, rasa
ini mulai menggerayangiku, bagaimana kalau tidak bisa jalan lagi, kami tepat di
jalan tanjakan, tak ada orang satu pun melintas, kampung terakhir yang kami
lewati sudah jauh. Sesekali dicoba di engkol belum juga bisa, kami terdiam
sejenak, lalu kami dorong motor ke arah jalan yang lumayan landai, kami coba
lagi motor yang ngambek ini. Alhamdulillah ia kembali siuman, lega. Semakin
lama jalan terasa horor, kiri kanan sudah jurang saja, jalan hanya setapak, ada
dua jalan ke kanan dan kiri, Afan hampir
lupa, lalu kami bertanya sama Bapak penjaga pos yang menjaga di situ. Kiri ternyata
ke Bromo dan kami ke kanan untuk menjenguk semeru. Jalan rusak benar-benar
menahan laju kami, akhirnya kami tiba di perkampungan terkhir yang bernama Desa Ranu Pani. Sampailah di tempat parkir,
terlihat Bapak-bapak menjaga di sana, belajar budaya kembali ku raih, sarung
menjadi teman setia warga di desa ini, dingin benar-benar kunobatkan menjadi
jawara , apalagi hujan masih setia untuk mencium bumi.
Lagi dan lagi
aku hanya membalas senyuman kala si Bapak menggunakan bahasa Jawa untuk
berinteraksi denganku, pun juga bang Gorong dan Bang Aris. Syukurlah Afan peka
terhadap orang disekitar ia sangat ramah menyapa dan lihai bersahabat dengan
warga sekitar. Kami hanya berkeliling dan mengahatkan diri di api unggun. Hati
kecil ini berucap syukur telah selamat di desa ini.
Tidak
mengambil resiko untuk mendaki malam hari, apalagi tubuh kami tidak boleh
dipaksa, ini bukan rodi. Harus dipakai sisi kemanusiaan pada rakyat tubuh. Afan
memutuskan kami bermalam di mushallah. Setelah shalat dan makan malam kami
tidur dengan sleeping bad yang
ternyata tidak mengurangi rasa gigil. Tidur benar tak tenang, aku menyudut di
dinding mushallah, kaki terasa beku, ini daerah terdingin yang pernah ku
kunjungi selama hidup, kalah kurasa bermalam di puncak sinabung yang pernah ku
alami setahun silam.
Pukul 4.00
pagi kami bangun menunaikan shubuh, matahari lamat-lamat menyapa, tapi tak
muncul rupa. Pemandangan desa terlihat sudah, aku bersyukur berada pada titik
ini. Kebudayaan ini aaah aku suka
sekali mengenalnya! Danau di ranu pani cukup indah, menjadi aksesoris di desa
terakhir untuk menuju ke semeru. Kami belum boleh berangkat, menunggu penjaga
pos untuk mendaki secara legal, beliau baru sampai pukul 8.00 pagi.
Ternyata benar
beliau hadir, bergegas kami ke pos dan mendaftar sebagai pendaki pagi itu.
Alahai ternyata pak penjaga pos halak hita orang batak. Namanya pak Ningot yang
bermarga Sinambela. Beliau tak percaya kami orang Medan, yah benar juga aku
bersuku jawa sedangkan bang Gorong bersuku minang. Kebetulan aku memakai
almamater kampus, maklumlah Cuma ini yang kupunya sebagai penghangat setelah
jaket basah kuyup. Dan percayalah si Bapak kami ni orang Medan, cukup antusias
lah beliau bercerita mengenai kisahnya berhijrah dari kampung siantar ke
kampung ranu pani ini serambi kami mengisi formulir sebagai pendaki. Ternyata
ada untung pula kami mengaku orang Medan, kenapa tidak ? banyak sekali kami
mendapat diskon untuk biaya mendaftar. Alhamdulillah
Moliate lah pak Ningot.
Kami
melingkar, memulai doa yang di pandu oleh Afan, hening. Ranu kumbolo kami akan
menjengukmu. Langkah ini amat ringan melangkah, pesan si Bapak jangan sombong
kalau mendaki, hati-hati, kalau ada sampah bawa pulang lagi jangan ditinggal di
sana. Amanat ini kami singkap dalam memori.
Cerahnya alam
membawaku pada syukur pada sang khaliq, ini akan menjadi pendakian yang lancar,
walau tanah sedikit licin akibat hujan semalam. Tapi jalur daki sudah amat baik
kurasa, jalan setapak yang di buat batu-batu memudahkan pendaki untuk berjalan,
50 menit kami memasuki hutan dan tiba di
selter pertama, waaw! Ternyata masih ada yang berjualan. Seorang bapak sendiri
menjajakan jualannya, ada pisang dan semacam bakwan dan berbagai jajanan ringan
lainnya. Amat lezat rasanya gorengan si Bapak apalagi sambal khasnya hmmm masih terasa rasanya ketika aku
menulisnya hhe. Tapi gorengan ini
seperti keluar dari kulkas, dinginnya seperti es tapi entah mengapa tetap
lezat.
Kami pun
memulai perjalanan, beberapa kali melihat burung jawa yang terbang, pun juga
bersenandung indah, jadi teringat flim the
hunger games. Beberapa saat kami beristirahat dan memulainya lagi.
Menurutku tidak terlalu sulit jalan yang kami tempuh, sebab landai dan hanya
beberapa kali saja menanjak, juga beberapa pohon yang tumbang menjadi
penghalang kami di depan.
2350 mdpl kami
berada, tepatnya di Watu Rejeng, artinya kami harus menempuh 4,5 km lagi untuk
sampai di Ranukumbolo. Jalan masih serupa, dan beberapa kali saja menanjak
bukit yang sedikit curam. Vegetasi tidak banyak berubah, kabut menyapa lembut
pada kami. Dan puncak semeru melirik kami, tapi sayang kami tak mungkin berada
sisi tertinggimu, mungkin suatu hari nanti kami akan melunasi perjalanan ini,
aamiin. Senandung lirik mengiringi jalan dan gurau tawa agar lelah berkurang.
Sesekali kami bertanya kepada Afan sebagai ranger
ekspedisi ini, akibat ingin sekali rasanya menjumpai si Ranu. Selalu ia kata, ‘dekat
lagi’. Kami tetap masih bersemangat melaju dan melangkah.
Empat jam kami
berjalan, munculah si Ranu dengan segala sisi keindahannya, kami telah sampai,
terbayar sudah. Air tenang, sesekali riak kecil menari akibat angin juga
menari. Dikelilingi cemara dan perbukitan hijau muda, kabut jernih menghiasi, hening
sesaat, seakan waktu terhenti sejenak dan meninggalkan pikiran yang memikirkan
hal yang berada di luar sana, sanubari alam yang menyejukkan, hai ranu apa
kabarmu hari ini ? kami datang jauh dari
negeri Medan untuk mengenalmu yang
terkenal sejak flim 5 cm itu, ahh mungkin kau belum pernah melihat rupamu di
layar lebar yaaa, kini kau jadi artis loo!
Setelah puas
berphoto, kami kembali ke tenda, dan mengejar waktu untuk segera kembali ke
desa Ranu Pani, gerimis halus mulai turun, tidak ada kata rehat, kami langsung
bergegas dan menurunkan tenda, setelah usai mengumpulkan sampah, kami
melingkar, menyatu dengan alam ranu kumbolo mengucap syukur sudah diberi
kesempatan memandang wajah ranu, dan memohon selamat kembali ke kota Malang. Selamat
bertemu lagi Ranu, semoga kita bertemu lagi suatu hari yang beruntung nanti dan
semoga kami menamatkan perjalanan ini hingga ke puncak semeru. Aamiin.
Masih dengan
jalur yang sama kami berjalan pulang, gerimis mengiringi, tidak ada kata
berhenti, biarlah rinai air ini menyejukkan kami. Beberapa kali kami bertemu
dengan para pendaki yang ingin naik. Ternyata banyak juga yang naik hari ini.
Bertegur sapa, dengan para pendakli lain membuat hati terasa hangat. Rasanya
cepat juga kami berjalan turun, hujanpun mulai datang. Hanya beberapa saat saja
kami rehat, mengumpulkan energi kembali dan bergerak lagi. Ada satu hal menjadi
motivasi kami untuk cepat ke selter satu, yaitu gorengan dingin si Bapak yang
mempunyai sambal yang lezat itu hhe.
Tapi setelah
kami pikir begitu banyaknya pendaki hari ini pasti gorengannya sudah ludes
habis. Tapi tak mengapa kami tetap menjadikan itu sebagai misi cepat kami
berjalan. Dan benar saja setelah sampai
di selter satu kami masih menemui para pendaki yang rombongan hinggap di sana
menikmati gorengan si Bapak. Alahai adakah lagi gorengan yang kami rindukan itu
? alhamdulillah ternyata masih ada, setelah para pendaki lain naik, hanya kami
yang tinggal di sana. Afan pun seperti biasa bersahabat menyapa Bapak, dengan
hingga ia mendapat resep sambal lezat itu. Astaga beruntung sekali dia :) dan ternyata pula bapak
ini telah menjual 200 masing-masing jenis gorengan pada hari itu juga bayangkan
ada tiga jenis gorengan artinya ada 600 gorengan dikalikan Rp 2000/buah, waaw
lumayan juga yaaa bisnis si Bapak :)
(maklumlah baru dapet ilmu enterprenuer di UB kemarin hhe).
Kami mulai
berjalan, hujan mulai reda, dan hari mulai senja, kabut tetap ada kami
melangkah cepat. Masih pada koridor yang sama, tiba-tiba ada deru langkah yang
cepat mengahampiri langkah kami, aku mulai mencengkam,apa itu. Samar-samar seorang pria sendiri menuju kami dengan cepat
sebab berlari,kami berhenti. Alahai ternyata si Bapak penjual goreng, ia
menawarkan kami melewati jalur cepat agar sampai ke Ranu Pani sambil menunjuk
ke tebing di atas tempat kami berdiri, sesaat Afan bertanya, bagaimana ? kami
mengangguk pasrah sebab hari semakin gelap. Ternyata jalan tak semulus yang
kami bayangkan, semak-semak, licin sekali, dan jalan setapak ini sangat sempit,
mungkin jalan warga agar cepat menuju semeru, hingga salah satu dari kami
terjatuh beberapa kali, sedangkan si Bapak terus melaju cepat syukurlah bg Gorong
mengikutinya dengan cepat, takut kalau kami ditinggal dan kami tak tau arah
pulang.
Akhirnya
dengan adegan yang lumayan ekstrim itu kami sampai di Ranu Pani. 3 jam lamanya
kami berjalan hingga tiba di ranu pani ternyata lebih cepat satu jam ketika
naik tadi pagi. Warga sempat heran betapa kuatnya kami yang pulang hari dari
Ranu Kumbolo. Kami membalasnya dengan senyuman, tak banyak istirahat, dan
setelah berisiri sedikit menghilangkan lumpur di badan kami langsung pulang
meninggalkan desa yang ku kagumi ini.
Memang
perjalanan ini terus memaksa kami harus kuat, dingin yang teramat sangat kabut
yang tak ramah menghalangi kami untuk berjalan lancar. Rasa lelah luarbiasa
bisa kurasakan, apalagi mereka yang membawa motor. Kuatkan kami ya Rabb,
senandung itu yang ucapkan sepanjang jalan serta dzikir untuk melawan takut.
Hati mereka memang selembut sutera serta fisik sekuat baja, kami sampai dengan
selamat di kota Malang. Setelah mengembalikan peralatan yang kami sewa kami
langsung ke gues house, setelah mandi kami masih tidak menyangka perjalanan
yang baru saja kami lewati, ini petualangan yang tak bisa terlupa.
Terimakasih
untuk sahabat AFAN, engkau pahlawan kami, kenapa kami sebut engkau pahlawan,
sebab perjuangan engkau telah terbaca di aliran darah kami, ini bukti kami
sangat berterimakasih untuk perjalanan ini,..
Selalu ingat
akan ini (akal) dan ini (hati) saling terhubung menjadi moral yang sangat indah,
semua berkumpul jadi satu dan senyum kita telah tersimpan pada riak
ranukumbolo, inilah titik-titik bahagia hangatku, ketika kita menatap
pemandangan hidup di pelataran tertinggi ranah jawa, selebihnya akan terbayar kalau engkau
berkunjung di kota kami. :')
3 komentar:
allahuakbar... betapa beruntungnya kalian. sudah lama ingin menginjak kaki ksna, dgn serangkain plan kita. doain yah, semoga kaka bs ksna. i miss u gorong dan winda.
tahun ini harus ke sana..
Nice adventure. Pengen kesana juga. Bismillah nyusul.. ^_^
Posting Komentar