This awesome blogger theme comes under a Creative Commons license. They are free of charge to use as a theme for your blog and you can make changes to the templates to suit your needs.
RSS

Cerpen

Hadiah Dari Bidadari Surga
                                                                  Oleh : Winda Sriana

                                                                          
  Guratan senja menyinari sayap kupu-kupu tropis yang menyajikan
komposisi warna keindahan. Sayap itu mengepak terus menerus melewati
telinga seorang wanita yang merasakan sekelilingnya. Ia coba meresapi
setiap suara kepakan kupu-kupu yang bersukacita melayang kesana-kemari
hingga terbang bersama bias suara azhan maghrib yang berkumandang.
Samar-samar ia dengar kembali
   “Hayya’Alash Shalah.... Hayya’Alal Falah.”
 Sesegera  ia bergegas mengambil air wudhu sebagai syarat untuk
memperoleh suci dari hadas kecil. Sembari tongkatnya ia ketuk-ketuk
kelantai dan meraba ruang yang penuh dengan kesunyian. Perlahan ia
coba berjalan langkah demi langkah, benar ia sudah hapal tapak jejak
yang ia jalani. Tentu ia tidak langsung mengarah ke arah kamar mandi
ia terlebih dahulu singgah ke kamar tidur dimana ada seorang anak
yaitu buah hatinya masih tertidur pulas dalam mimpinya.
   “Aikh masih tertidur lagi ni anak emak, ayok bangun! Sudah azhan tu
Nur. Lekaslah bangun  ambil air wudhu,  shalatlah!” ceracau wanita itu
seraya mengguyah-guyahkan tubuh anaknya.
   “Aduh emak,,, masih ngantuk ni Nur, nanti sajalah. Bentar lagi. Masih
nanggung ni mimpinya ketemu sama si Biebier emak!”
   “MasyaAllah Nur..Nur, apapula yang kau bilang ni. Cepat bangun ayok shalat!”
   “Iyah,,iyahlah mak sabarlah dulu, ee emak ini ganggu orang lagi senang aja pun.”
   “Asstaghfirullaah.. Nur..Nur..”
Wanita itu kembali memakai tongkatnya untuk berjalan dan anaknya
memegang bahu emaknya dan pelan-pelan mereka menuju ke kamar mandi.
Setelah shalat berjemaah dan mengaji bersama mereka makan malam di
sebuah meja dan kursi yang terbuat dari bambu. Dan wanita itu mencoba
lagi bertanya kepada anaknya untuk ketiga kalinya, ia ingin sekali
anaknya menurutinya untuk permintaannya yang satu ini.
   “Esok kau akan duduk dibangku SMA, dan keinginan kau bersekolah di
sekolah favorit di kota telah tercapai. Nah, emak minta kepada kau ni
Nur. Ni untuk kebaikan kau juga.”
   “Apa itu mak?”
   “Cemanalah mau kubilang yah. Ginilah sekarang kau kan sudah baligh
seharusnya kau tutuplah aurat kau itu. Pergilah ke sekolah dengan
jilbab, jangan macam kau waktu di SMP dulu. Ya Nak?”
   “Haduh mak, sudah bosan aku, emak suruh aku terus buat pakai jilbab.
Panas mak! Panas! Apalagi di Indonesia ini Matahari sudah terlalu
dekat sama kita disuruh lagi pakai jilbab bisa  terebuslah aku.
Gak..gak.. lah mak!. Tetap aku gak mau pakai pakai jilbab!”
Sang emak terdiam dan tidak ingin melanjutkan pembicaraannya atas niat
yang sudah lama ia mimpikan dari anaknya. Ia sudah sangat mencintai
anaknya yang hanya ia miliki di dunia ini. tentulah ia rela jika
nyawanya ia pertaruhkan untuk buah hatinya. Sebutlah ia dengan Emak
Sumi, tidak seorangpun di kampung tempat tinggalnya tidak mengenlanya.
Ia sangat dikenal di seantereo lurah di kotanya. Emak Sumi, wanita
paruh baya, wanita tunanetra dan memiliki keahlian sebagai tukang
pijat. Semua orang sangat menikmati pijatan Emak Sumi sampai istri
pejabat DPRD pun pernah merasakan kelembutan tangan Emak Sumi yang
menari-nari di atas tubuh mereka. Emak sumi dulu menikah dengan
seorang pria yang juga tunanetra, tapi ketika emak mengandung buah
hati mereka suaminya meninggal akibat penyakit diabetes yang
dideritanya. Setelah emak berperang melewati perjuangan yang setiap
ibu juga mengalaminya, emak sangat senang dan bersyukur bahwa ia
dikaruniai bayi perempuan yang lucu. Ia pun memberi nama anak itu Nur
Ainun yang berarti cahaya mata. Ia ingin sekali anaknya tidak buta
seperti dirinya dan suaminya.
   Hari demi hari berganti, bulan demi bulan terus berjalan dan tahun
demi tahun ia lewati hingga tidak mengetahui bahwa anaknya juga buta.
Ketika Nur  berumur tiga tahun, Emak Sumi coba menyuruh Nur untuk
mengambilkan sehelai kain diatas ranjang, tapi Nur tetap enggan
mengambil. Berulang dan terus berulang ia coba untuk menyuruh Nur
mengambil sesuatu tapi hasilnya tetap nihil alias nol besar. Akhirnya
Emak Sumi coba meraba wajah Nur yang mungil dan tiba di sepasang mata
nur yang terpejam. Ia coba membuka mata Nur tapi Nur menangis meringis
hingga Emak Sumi memaksakan untuk membuka mata Nur lagi tapi tetap Nur
menangis hingga tangis Nur pecah bersama tangis Emak Sumi yang
menyesali keadaan.
***
   “Mak Nur pergi dulu yah! Assalamualaikum..”
   “Waalaikumussalam, hati-hati ya Nur. Belajarlah kau dengan baik-baik ya!”
   “Iya mak!”
Suara tongkat Nur lambat laun menghilang dari pendengaran Mak Sumi.
Hatinya masih terselubung kegalauan, bahwa Nur belum ingin menutup
aurat yang ia inginkan dan tentunya menjadi kewajiban seorang
muslimah.”Semoga Nur mendapat hidayah” doa Mak Sumi yang tak pernah
putus kepada Sang Khalik.
Akhir-akhir ini Mak Sumi banjir rezeki mendapat pasien yang begitu
banyak, hingga ia tak kuat untuk memenuhi semua panggilan pasiennya.
Tentu pasiennya adalah perempuan, ia tidak menerima laki-laki sebab ia
tidak ingin ada fitnah dan tentunya ia tidak ingin menyentuh yang
bukan mahram. Hingga ketika ia selesai shalat ashar, ia tidak dapat
lagi mengadah tangan memohon doa kepada-Nya, tangannya kaku tak dapat
digerakkan bagai batu yang sudah mengeras. Mak Sumi kesakitan ia
menangis menahan sakit yang tak pernah ia alami selama ini.
   “Ya Allah...,astaghfirullah!” sentak Mak Sumir kesakitan
   “Mak,, kenapa mak?!!” Nur coba membantu Maknya dengan hati-hati ke kamar tidur.
   “Nur,, tolong Emak Nur..tolong emak. Emak gak tau kenapa dengan tangan
dan kaki emak. Ni badan sakit semua dan seakan lumpuh.”
   “Ya Allah mak, kenapa bisa gini mak.”
   “Gak tau mak Nur, tolong ambilkan air hangat untuk emak Nur, mak jadi
kedinginan ni.”
       “ Ia mak, b,,bntar ya mak.” Nur kebingungan denan kondisi Emaknya
yang secara tiba-tiba sakit. Emaknya tak pernah tertimpa sakit semacam
ini sebelumnya.
   “Ini mak, airnya Nur panggil bidan dulu yah mak.”
   “ Udahlah Nur mungkin sebentar ajanya ni, bentar lagi mudah-mudahan
sembuh juganya itu.”
   “ Tapi mak...” Mak Sumi langsung mengelus tangan Nur seakan mencegah
Nur untuk pergi meninggalkannya.
“Yaudah mak, gini ajalah Nur pijit Mak yah supay mak mendingan.”
“Yaudah terserahmu aja Nur” suara mak Sumi bergetar dan tetap masih
meringis kesakitan.
   Nur masih memijat tubuh maknya yang tiba-tiba lumpuh seketika. Hingga
maknya tertidur pulas dan Nur tiba-tiba merasakan tetes air jatuh dari
tebing pipinya. Ia tidak menyadari bahwa dirinya kini menangis. Yah ia
menyadari ia sangat takut kehilangan maknya. Hanya emaklah yang ia
miliki di dunia ini. entah apa yang ia pikirkan kini. Ia takut maknya
meninggalkannya dan kini Nur menangis hingga ia tertidur dalam
kesedihan yang mendalam.
***
   Dentingan waktu terdengar sebagai irama detik yang mengalun beriring
derap langkah Nur. Nur dalam keadaan bingung yang luarbiasa,
perasaannya durja dan sedikit bahagia. Durjanya, ia tak mengenal
tempat ia berdiri kini. Bahagianya, apakah ini warna itu? Apakah ini
dunia itu? Apakah ini yang dinamakn keinahan itu? Yah kini ia dapat
melihat. Melihat di sekelilingnya, melihat apa yang dapat terlihat
dari matanya yang selama ini hanya beku tertutup tak dapat ia gunakana
sebagai alat indra. Saban waktu ia sangat kesal terhadap Allah yang
bertindak tidak adil terhadap dirinya sebab itulah ia tidak ingin
mengikuti titah ibunya untuk menutup aurat.
   Tapi dimana ia kini, tempatnya begitu indah seakan seseorang yang
berada di tempat tersebut ingin selamanya tinggal menetap disana.
Tempat itu di penuhi taman-taman yang indah dihiasi dengan bunga-bunga
berwarna. Nur tak mengenal warna apa saja itu. Yang mana warna merah,
biru, pink(yang selama ini disukai banyak perempuan), dan lainnya ia
ragu untuk menebak-nebak. Harumnya tempat itu tak dapat terlukiskan,
ia tak pernah menghirup harum parfum sseorang seperti ini. harumnya
sangat menyejukkan hingga ke aliran darah yang mengalir. Hatinya
berdecak kagum hingga ia berucap tiada henti memuji kuasa Illahi. Ia
mendengar suara gemercik aliran sungai dan menuju ke sumber suara dan
inikah yang dinamakan sungai itu? Batinnya terus bertanya setiap apa
yang ia dengar dan melihat sumber suara itu.
   “Assalamualaikum..apakah kau yang bernama Nur?” tiba-tiba seorang
perempuan dengan pakaian bak putri raja dan memakai jilbab yang
luarbiasa keindahannya, wajahnya bercahaya. Tapi cahayanya tidak
menyilaukan malah membuat orang yang menatapnya merasa teduh dan
nyaman. Kulitnya bersih putih dan berkilau, wajahnya sangat cantik,
bulu matanya lentik dan bola matanya hitam dan jernih. Ia tersenyum
kepada Nur dan Nur membalas senyumnya.
   “Apakah benar kau yang benama Nur?” tanya lagi dan sekali lagi ia
tersenyum. Senyuman yang seolah bunga-bunga menghidupkan simponi yang
indah.
   “Waalaikumussalam..iii,,yyya benar, s..ssa,ya Nur,” jawab Nur terbata,
bukan rasa takut yang ada di balik hatinya tapi ada semacam rasa
takjub menyadari beberapa detik yang ia alami kini.
   “Kenalkan saya Aisyah, Nur mari kita duduk sebentar disini,” perempuan
yang bernama Aisyah menarik tangan Nur dengan penuh kelembutan dan
mereka berdua duduk disebuah kursi yang berbahan emas. Terlihat mereka
sangat akrab dan terlihat sebagai sahabat yang sudah lama mengenal.
   “Ada yang ingin kau tanyakan padaku?”
   “Yah tentu saja, banyak sekali yang ingin aku tanyakan.” Jawab Nur
dengan penuh senyum.
   “Apa itu?”
   “Kenapa aku berada disini?, dan aku tiba-tiba dapat melihat padahal
aku adalah seoarang anak yang buta? Dan kau kenapa dapat mengenal ku?”
   “Banyak hal yang tidak semua dapat ku jawab atas pertanyaanmu itu,
satu hal saja yang ingin ku beri padamu Nur wahai mata yang
bercahaya.”
Dan tiba-tiba perempuan itu mengeluarkan sebuah kain yang sangat
indah. Ia pakaikan kain itu keatas kepala Nur. Ia memakaikan Nur
dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Sedangkan Nur merasakan
kelihaian tangan perempuan itu dengan kebahagiaan. Ia rasakan kain itu
seperti melindungi kepalanya, terasa nyaman, sejuk, dan lembut.
   “Nah,, lihatlah dirimu. Sangat cantik dan anggun dengan memakai jilbab
ini. wah pasti bidadari-bidadari yang ada di surga merasa iri melihat
wajahmu yang sangat cantik,” kata perempuan itu dengan menyerahkan
sebuah cermin yang berukir seperti cermin kerajaan dan berlapiskan
emas.
   “Apakah ini wajahku?” tanya Nur yang ragu menatap wajahnya pertama kali.
   “Ya tentu saja ini wajahmu, sangat cantik bukan, mirip sekali dengan ibumu?”
   “Ibu? “ degg, hati Nur tiba-tiba tertimpa sebongkah batu yang sangat
besar. Emak, emak, dan emak. Bagaimana emak kini.
   “Tenanglah ibumu pasti akan baik-baik saja, pakailah terus jilbab ini.
jilbab adalah simbol bagi kita seorang Muslimah. Jilbab adalah penutup
perhiasan kita. Jangan bertabarruj yah wahai saudariku. Allah telah
memerintahkan kepada kita untuk menahan pandangan, tidak menampakkan
perhiasan kecuali dengan mahram kita. Allah telah berfirman
‘katakanlah kepada wanita yang beriman agar mereka menjaga
pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang tampak darinya. Dan hendaklah
merekamenutup kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka,....’(QS AL-Nur:31),” tutur
perempuan itu dengan di akhiri senyumannya yang tetap memancarkan
keteduhan.
   Nur seakan menangis ia telah banyak mengecewakan emaknya, ia menyesal
dan bertanya lagi
   “Bagaimana dengan pandangan, bukankah saya telah ditakdirkan buta?”
   “Dengan demikian Nur, kau mendapat rezeky untuk tidak melihat
keburukan-keburukan dunia yang akan menghantarkan kau ke api neraka,
begitu sayangnya Allah agar mata dan hati mu terjaga atas pemandangan
yang kotor terjadi di dunia. Maha besar Allah.”
Nur kembali menangis dan terus berucap syukur
   “Alhamdulillah, segala puji bagimu ya Rabb.”
Kini hati Nur merasakan kesejukan yang mengalir di setiap deru
nafasnya hingga udara itu dapat menyapu seluruh organ-organ
ditubuhnya. Pikirannya begitu bebas dan seperti melayang-layang di
udara. Awan mulai meredup dan angin mendesis di urat-urat ruang itu.
Seketika suasana hening dan Nur tersentak dalam tidurnya.
   “Subhanallah.”
   Ia meraba ibunya masih tertidur pulas di sebelahnya, ia cium ibunya
dan pergi ke kamar mandi dengan perlahan, terdengar suara ketukan
tongkat yang ia miliki seolah tongkat itu adalah penuntun jalan bagi
tuannya. Setelah berwudhu dan shalat ia berdiri dan meraba lemari. Di
bukanya lemari, diraba-rabanya kembali susunan baju yang terlipat.
   “Nah ini dia!”
   Wajahnya senang ketika mendapatkan sebuah kain dan langsung mencoba
untuk melipat dan memakaikan kain itu ke atas kepalanya dengan
perlahan. Senyumnya merekah ada kepuasan batin yang terpancar dari
raut wajahnya.
   “Nur...Nur...” Panggil Emak Sumi dengan suara bergetar.
   “Iyah Emak, alhamdulillah Emak kayak mana? Udah gak sakit lagi kan mak?”
Nur mencoba membantu emaknya untuk minum segelas teh manis, ibunya
meraba wajah buah hatinya yang ia cintai itu. Dan ia berdetak kaget
ketika meraba kepala anaknya kini sudah tertutupi kain yang selama ini
ia inginkan.
   “Nur.. Nur, pakah kau..”
   “Stt.. Iyah Emak InsyaAllah Nur akan pakai terus Jilbab ini untuk
lindungi perhiasan(aurat) yang Emak inginkan, mak senangkan,, ahh
senanglah itu,, hhe.”
   “Subhanallah Nak, Alhamdulillah akhirnya engkau dapat hidayah darinya Nak.”
   “Ia mak alhamdulillah ini semua berkat doa emak.”
   “Apakah itu hidayah ya Rabb, Ya Allah segala puji bagiMu, Hidayah yang
luarbiasa kudapatkan. Bertemu bidadari Syurga yang tak semua orang
mendapatkannya. Walau hanya mimpi dari mimpi itulah sebuah misteri
antara nyata dan gaib yang dimiliki oleh pencipta semesata alam.” Jauh
dalam sanubari nur terus melafaz syukur atas rezeki dan pengalaman
mimpi yang tak dapat ia lukiskan serta  sulit untuk dilupakan. Nur,
remaja buta yang kini istiqamah untuk menjaga hijab. Ia bangga memakai
jilbab yang menjadi identitas sebagai muslimah. Tak ada lagi kata yang
dapat menolak untuk berbicara tentang jilbab. Ia sangat bersemangat
dan menyiarkan dakwah untuk mengajak teman-temannya menjaga aurat.
Setiap langkah yang ia jejak bersama lantunan senandung tongkat yang
menjadi pedoman arah tujuannya. Tuk..tuk.. berulang suara itu
terdengar bersama bibirnya yang basah sebab zikir selalu ia lafazkan
sembari tongkat mencium tanah.

0 komentar: